MER-C

26 Maret 2009

Prof. Dr. KH Ali Mustafa Ya'kub, Ahli Hadist

Prof. Dr. KH Ali Mustafa Ya'kub adalah guru besar ilmu hadist IIQ (Institut Ilmu Alqur'an) Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta dan pengasuh Pondok Pesantren Luhur Hadist Darussunnah Ciputat. Pertama membaca tulisan wawancara beliau di harian Republika saya jadi tertarik dengan buah pemikirannya. Hari Ahad 22 Maret 2009 kebetulan harian Republika memuat lagi tulisan wawancara dengan beliau tentang minimnya pengetahuan ilmu hadist dari umat Islam.Hal ini menyebabkan banyak hadist palsu yang dipakai umat. Berikut adalah salinan tulisan wawancara beliau dengan wartawan Damanhuri Zuhri yang dimuat harian Republika. Hal- hal yang menarik bagi saya, saya miringkan hurufnya.
Kapan hadist palsu mulai muncul ?
Dalam sejarah ilmu hadist, hadist palsu baru muncul pada dekade ke 4 dari tahun Hijriyah setelah tahun 40-an setelah terbunuhnya Sayidina Utsman bin Affan. Beliau terbunuh pada tahun 35 H dan dimakamkan pada 36 H. Jadi pada akhir tahun 35 H wafat dan dimakamkan hari berikutnya, awal tahun 36 H. Ini menimbulkan kelompok-kelompok politik. Bahkan Dr. Subulus Shaleh membuat angka yang pasti, pemalsuan hadist terjadi sekitar tahun 41 .
Yang menjadi orang pertama atau kelompok pertama yang membuat hadist palsu itu kelompok-kelompok politik. Dalam rangka mendukung pendapatnya, para politikus ini mencari ayat-ayat Alqur'an. Kalau tidak ditemukan, mereka mencari hadist nabi. Karena tidak ada hadist nabi, mereka membuat hadist palsu. Hadist palsu yang dibuat kelompok politik, misalnya, hadist yang mengkultuskan Sayidina Ali bin Abi Thalib. Saking fanatiknya kelompok ini kepada Ali bin Abi thalib, sampai kemudian muncul hadist yang mengatakan, "Aliyyun khairul basyar, faman ankara faqad kafara."(Ali adalah sebaik-baiknya manusia, barang siapa yang tidak percaya, dia telah kafir). Nah ini jelas sekali yang membuat adalah orang yang fanatik dan mengkultuskan Ali. Tapi dalam sejarah selanjutnya yang paling dominan membuat hadist palsu adalah kelompok-kelompok tasawuf, kaum sufi. Itu yang dominan membuat hadist palsu.
Mengapa kaum sufi begitu dominan membuat hadist palsu ?
Ada beberapa alasan. Pertama, dari segi tujuannya , mereka menganggap ketika umat sudah bobrok akhlaknya, perlu ada dorongan untuk beramal saleh. Untuk merangsang beramal saleh, mereka membuat hadist-hadist palsu. Kedua, dari segi metode. Metode penetapan hadist orang sufi tidak sama seperti ahli hadist secara umum. Mereka tidak terikat dengan persyaratan hadist. Misalnya sanadnya harus terdiri dari orang-orang yang kredibel. Mereka tidak menggunakan seperti itu. Mereka menggunakan dua metode. Metode pertama, apa yang disebut metode Al Kasyf. Al Kasyf adalah suatu pengetahuan yang diperoleh tanpa pembelajaran, Seperti ilham. Menurut mereka kalau dengan Al Kasyf hadist itu dianggap shahih, mereka mengataka shahih meskipun menurut ahli hadist, hadist itu tidak shahih. Maka itu jumlah hadist palsu di kalangan orang sufi banyak sekali. Kedua, mereka menganggap Nabi masih sering datang ke dunia sehingga banyak menemui orang-orang tertentu. Itu bertemu nabi dalam keadaan terjaga. Inilah yang kemudian nabi dalam pesan-pesan tertentu memberikan wirid dan segala macam. Akhirnya banyak hadist muncul setelah Nabi wafat. Ini yang menjadi masalah di kalangan sufi sehingga kaum sufi itu paling banyak membuat hadist palsu menurut kacamata ilmu hadist.
Bagaimana ciri-ciri hadist palsu?
Kalau dilihat dari segi sanadnya kalau dalam sanadnya terdapat rawi(periwayat), yang dengan terus terang dia mengaku memalsu hadist. Maka itu hadistnya menjadi palsu. Yang kedua perawinyapun dusta, tapi tidak diketahui ketika menyampaikan hadistnya apakah palsu atau tidak. Tapi jelas dia pembohong. Maka hadist kedua ini namanya hadist makruh kalau dalam bahasa Indonesia semi palsu. Itu kedudukannya sama harus dibuang. Jadi tidak boleh meriwayatkan atau menyampaikan hadist palsu kecuali dalam rangka menjelaskan tentang kepalsuan hadist tersebut.
Bagaimana kalau umat Islam mengamalkan hadist palsu yang berkaitan dengan fadhai a'mal?
Tidak boleh sama sekali. Fadhail a'mal itu dikerjakan kalau hadistnya hanya dhaif, bukan sampai kepada palsu. Tapi itupun ada syaratnya. Pertama dhaifnya tidak terlalu parah. Yang parah itu misalnya, hadist palsu, hadist makruh dan hadist munkar. Hadist munkar itu periwayatnya pelaku maksiat.
Apa perbedaan hadist dhaif dengan hadist palsu?
Memang hadist palsu itu bagian dari hadist dhaif. Tapi hadist dhaif yang paling parah. Nah yang tidak parah misalnya hadist mursal seperti itu, misalnya tabiin kok menyebut kepada nabi bukan kepada sahabat. Kelihatannya seperti hadist, "Hububudunya ra'su kulli khati'n."(mencintai dunia adalah pangkal dari kejahatan). Itu hadist dhaif tapi tidak terlampau parah. Syaratnya satu, kedhaifan hadist tidak terlalu parah. Kedua ada dalil lain baik Alqur'an maupun hadist yang mendukung substansi dari hadist dhaif itu. Ketiga, ketika mengamalkan hadist tidak menyebutkan nabi bersabda, tapi cukup disebutkan ada hadist atau ada riwayat seperti itu saja. Nah itu boleh. 
Perkembangan hadist palsu sekarang ini bagaimana?
Alhamdulillah sekarang sudah banyak yang mengetahui hadist palsu sehingga sedikit demi sedikit hadist palsu tidak diamalkan. Jadi ada perkembangan meskipun tidak cepat.
Banyak juga di kita, seperti hadist-hadist yang sebenarnya tidak hebat, itu sering dipakai ulama. Itu bagaimana?
Terlepas apa yang ulama pakai karena tidak selamnya mereka tahu hadist. Contohya hadist ulama dan umara' itu hadistnya semi palsu. Tapi banyak ulama pakai karena mungkin dia tidak tahu hadist itu palsu. Jadi sekarang sudah mulai tahu karena banyak orang yang belajar ilmu hadist.
Bagaimana untuk memahami sebuah hadist apakah palsu atau tidak?
Kalau memahami itu ada metode tersendiri. Memahami hadist itu bisa dilakukan dengan tiga cara. Ada yang pertama dengan pemahaman tekstual dan kontekstual. Kedua, dengan menggabungkan riwayat-riwayat yang lain. Dan ketiga, melalui metode kontroversialitas hadist. Misalnya, yang tekstual dan kontekstual, misalnya, tentang fatwa Nabi apakah pakaian Nabi itu kita diharuskan mengikuti seperti itu termasuk sorban, misalnya. Orang yang memahami secara tekstual apa yang dipakai Nabi ya harus kita ikuti. Tapi, yang kontekstual tidak , karena itu budaya Arab. Jadi yang diamanahkan oleh Nabi bukan bentuk pakaiannya, melainkan semangatnya, substansinya. Misalnya, menutup aurat, tidak transparan, tidak ketat dan tidak menyerupai pakaian lawan jenis. Saya rumuskan dengan 4 T, T1 tutup aurat, T2 tidak transparan, T3 tidak ketat, T4 tidak menyerupai pakaian lawan jenis. Maka kalau pakaian dia sudah memenuhi kriteria 4 T tadi ya sudah, berarti pakaian Islam, apapun bentuknya. Islam itu bukan Arab, Islam itu mendunia. Jadi siapa saja tidak harus pakai sorban, karena sorban itu budaya Arab. Yang memakai sorban itu bukan Nabi saja. Nabi mengatakan perbedaan sorban kita dengan sorban orang musyrikin adalah pakai peci. Jadi orang-orang musyrikin pakai sorban. Makanya, jangan mengklaim sorban itu adalah satu-satunya pakaian Islam. Termasuk Abu Jahal, Abu Thalib, pakai sorban. Yang penting 4 T tadi. Di Amerika ada yang mempertanyakan, kenapa orang amerika yang sudah masuk Islam berpakaian Arab? Itu mungkin tidak menarik karena seolah-olah Islam itu harus Arab. Kalau budaya orang Arab pakai sorban, kita mungkin pakai peci dan sebagainya. Nabi juga rambutnya panjang, tetapi kenapa kita nggak berambut panjang?Karena itu adalah budaya Arab pada saat itu tidak harus kita ikuti.
Bagaimana membedakan hadist shahih dan dhaif ?
Itu dipelajari dalam ilmu hadist unuk membedakannya. kalau hadist shahih itu ada syaratnya empat. Pertama, sanadnya bersambung kepada Nabi dari penulis hadist. Kedua, terdiri atas perawi yang kredibel, syaratnya muslim, akil baligh, tidak pelaku maksiat dan tidak melakukan hal-hal yang merusak citranya. Ketiga, dia memiliki kekuatan hafalan yang prima. Keempat tidak ada kecacatan dalam menjatuhkan kualitas hadist, istilahnya tidak ada illat dan sebagainya. Kalau keempat syarat tidak terpenuhi hadistnya menjadi dhaif.
Kalau hadist tentang bid'ah, bagaimana?
Sekarang apa yang dimaksud dengan bid'ah itu. Ada yang mengatakan, apa yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi, itu namanya bid'ah. Kalau itu disebut bid'ah maka umrah ramadhan itu bid'ah karena abi saw tidak pernah melakukan umrah ramadhan. Nah yang benar yang dimaksud dengan bid'ah adalah yang tidak ada dalilnya dalam agama. Dalil itu bisa Alqur'an, hadist, ijma, qiyas dan lain-lain. Misalnya shalat subuh 10 rakaat, itu tidak ada dalilnya. Bukan ibadah yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah. Nabi itu tidak pernah mengeluarkan zakat fitrah dengan beras, lantas apakah itu disebut bid'ah? Walaupun tidak ada dalilnya tapi ada qiyas sebagai dalilnya.
Bagaimana agar orang tidak mengerjakan bid'ah?
Masalahnya kadang-kadang mereka itu yan suka membid'ahkan orang, sengaja ingin bikin orang bertengkar saja. Jadi, dia termasuk mungkin ada yang menyetir. Dia menganggap dirinya paling benar, hanya dia sendiri yang masuk surga yang lain nggak masuk surga. Jadi kalau dilacak itu pasti ada sponsornya.
Bagaimana semangat umat Islam Indonesia dalam mempelajari hadist?
Umat tahu Islam dari ulama. Sementara ulama di Indonesia, banyak yang cenderung kepada ilmu tasawuf. Sedikit sekali yang mendalami ilmu hadist. Makanya, umat juga sedikit sekali pengetahuan tentang hadist. Karena umatnya hanya mengikuti ulama. Tanpa ulama nggak tahu Islam. Dari mana dia tahu Islam?Dia tahu Alqur'an itu dari ulama.
Bagaimana menumbuhkan semangat umat untuk mempelajari hadist?
Sebelum berbicara masalah umat, bicara masalah ulamanya dulu. Ya ulamanya harus di upgrade dulu. Ulamanya harus membangun diri dulu sehingga memahami Alqur'an dan hadist, baru kita membicarakan masalah umat. Tapi kalau ulamanya tidak, tidak mungkin umat akan berubah. dan kecenderungan di Indonesia, kalau diperingkat, itu peringkat pertama pada tasawuf, kepada hal-hal yang sufisme sifatnya.Peringkat kedua, baru fiqih. peringkat ketiga, tafsir. Peringkat keempat, akidah atau tauhid dan selanjutnya baru hadist.
Idealnya seperti apa?
Yang ideal menurut saya, Alqur'an dan hadist dulu. Makanya di Indonesia minim sekali orang yang mempelajari tafsir, hadist, tapi kitab-kitab kuning yang membawa tasawuf yang terkadang justru syarat dengan hadist-hadist palsu.
Bagaimana cara mengubah paradigma ini?
Paling bagus kita siapkan generasi baru. Yang sudah biar saja, ulama-ulama atau kyai-kyai yang sudah tua karena sebentar lagi mereka meninggal dunia. kita nggak bisa mengubah mereka. Makanya, kita siapkan generasi yang memahami Alqur'an dan memahami hadist. Jadi nggak usah mengubah mereka karena akan sulit. Lebih baik kita menyiapkan generasi.
Karena itu perlu membuat seperti Ponpes Darussunnah?
Saya kira itu. Itu salah satu cara. Kita nggak mungkin mengubah ulama-ulama yang umurnya sudah 60-an tahun ke atas untuk mengajari seperti ini. Maka yang paling mudah adalah menyiapkan generasi muda. Makanya kita arahkan ke Alqur'an dan ilmu Alqur'an dan hadist dan ilmu hadist. Karena semuanya bersumber dari situ.
Maka itu seperti pada MTQ Alqur'an dan hadist, nggak banyak yang hafal hadist?
Tapi, itu tidak banyak menyangkut pada ilmu hadist, cuma hafalan. Tidak menyangkut kepada pemahaman hadist hanya sekadar menghafal. Mestinya harus lebih dari itu. Dari segi ilmiahnya, karena MTQH yang sudah digelar beberapa waktu yang lalu itu hanya sekadar menghafal hadist. Siapa yang hafalannya kuat, bisa menang. Padahal untuk memahami hadist tidak seperti itu, butuh ilmu khusus.
Apa saran anda untuk Depag agar memperhatikan pedidikan, terutama ilmu-ilmu hadist di Tsanawiyah dan Aliyah?
Seorang yang namanya Imam Ibnu Zureid, itu belajar hadist sampai 17 tahun. Ada cerita menarik sekali, kita tidak mungkin belajar ilmu hadist secara instan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Math of The Day


Widgets and Templates

Bermain Sudoku.... Siapa Takut..?

Belanja...? Klik saja...