MER-C

28 Februari 2009

Menjelang Bapak Meninggal

Aku, suami dan anak-anak belum pernah pergi berlibur ke kampung halaman sendiri-sendiri. Biasanya kami berlibur bersama-sama. Aku agak kaget waktu suamiku mengijinkan aku dan anak-anak untuk berlibur ke kampung halamanku. Bahkan suamiku sudah membelikan tiket untuk aku dan tiga anakku. Aku sedih bercampur bahagia, sedih karena akan meninggalkannya sendirian untuk beberapa hari atau mungkin beberapa minggu, bahagia karena dapat menengok orang tua yang sudah tua. Anak-anak senang sekali akan berlibur di rumah Mbahnya. Beberapa hari sebelumnya waktu saya telepun Bapak, Bapak berkata bahwa beliau baru mau berobat ke dokter. Bapak ingin saya dan anak-anak dapat berlibur ke kampung halaman.

Hari keberangkatan tiba. Saya dan anak-anak bersiap-siap. Tidak banyak baju ganti yang dibawa, saya tidak tega meninggalkan suami sendirian terlalu lama. Pikir saya beberapa hari sajalah saya dan anak-anak di kampung halaman. Saya dan anak-anak sudah siap berangkat tatkala suami bilang bahwa kami boleh berlibur di kampung selama dua minggu dan suami bilang bahwa waktu dua minggu sudah cukuplah untuk berlibur dan kangen-kangenan sama orang tua dan keluarga. Saya tertegun, dalam hati saya berkata apakah dua minggu tidak terlalu lama, apakah suami tidak akan kangen sama saya dan anak-anak. Saya mengiyakan. Suami mengantar kami berangkat ke agen bus Ramayana di Bekasi Timur. Anak-anak gembira.

Bus Ramayana berangkat jam 16.00 jadi kami tidak langsung naik ke bus. Kami duduk sebentar di ruang tunggu sambil bercanda. Menjelang keberangkatan kami naik ke bus, termasuk suami. Suami berpesan supaya hati-hati di jalan dan hati-hati menjaga anak-anak. Saya jadi sedih karena akan meninggalkan suami sendirian. Dan ternyata anak-anakpun sedih karena akan berpisah dengan ayahnya. Apalagi si kecil Safa, dia baru tahu kalau ayahnya tidak bisa ikut berlibur. Safa menangis dia ingin ayahnya ikut berlibur ke kampung. Safa tidak memperbolehkan ayahnya turun dari bus. Setelah dijelaskan bahwa ayah tidak bisa ikut liburan karena harus bekerja, baru dia mau melepaskan suamiku dari pegangannya. Suamiku mengucap salam lalu turun dari bus, kami membalasnya. Bus berangkat membawa kami diiringi lambaian tangan suami dan tatapan sayangnya. Kami semua sedih berpisah dengannya.

Selasa, pukul 04.00, kami tiba di Muntilan kota kecil di dekat candi Borobudur, diantara Magelang dan Yogyakarta. Diperempatan Sayangan, bus berhenti. Kakak ipar dan keponakanku yang menjeput sudah menunggu. Merekapun segera mendekati bus yang telah berhenti, menyongsong kami tepat di depan pintu bus. Kami turun, bersalam-salaman. Anak-anak kelihatan gembira bertemu dengan Pakde dan kakak sepupunya. Segera kami naik mobil Pak de, panggilan kami untuk kakak ipar dan langsung menuju rumah orangtua, di sebuah kampung, di utara kota, di pinggir jalan tembus Muntilan - Boyolali via Ketep Pass tempat pariwisata di lereng Gunung Merapi, Muntilan - Salatiga - Semarang via Kopeng tempat pariwisata dilereng Gunung Merbabu.

Betapa bahagianya bapak dan ibu menyambut kedatangan saya dan anak-anak. Ibu ingin kami tidur dengan ibu, bapakpun ingin kami tidur dengan bapak. Supaya dekat dengan bapak dan juga ibu kami tidur di depan kamar bapak dan ibu. Karena bapak sedang sakit perhatian saya banyak tercurah kepada bapak. Alhamdulillah anak-anak langsung akrab dengan sepupu-sepupunya jadi mereka tidak merasa terabaikan.
Bapak bercerita cukup banyak tentang sakitnya .Sebenarnya Bapak jarang sakit. Selama hidunya yang saya ketahui baru tiga kali ini Bapak sakit sampai beberapa hari. Pertama sakit kakinya karena jatuh dari tangga yang agak tinggi, kedua waktu mau berangkat melaksanakan ibadah haji dan ketiganya ini. Rencana Bapak, hari Rabu pagi ingin berobat ke rumah sakit.

Rabu pagi saya dan kakak ipar mengantar bapak ke rumah sakit, dengan mobil kakak ipar. Bapak masih kuat berjalan sendiri. Naik turun mobil sendiri. Berjalan sampai ke ruang gawat darurat. Bapak diperiksa dokter jaga sambil rebahan di tempat tidur. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, Bapak disarankan untuk rawat inap. Bapak setuju, kamipun setuju. Bapak kami antar ke ruang perawatan dengan kursi roda. Sesampai di kamar perawatan, Bapak tidak langsung tidur. Bicara-bicara dengan kami. Terima telepon kakak yang masih di Jakarta. Kami mengingatkan Bapak untuk shalat dzuhur dan kamipun shalat. Saya pamit pulang dulu karena harus mengurus anak-anak.

Ternyata menurut hasil pemeriksaan beberapa dokter ahli, Bapak terserang kanker hati dan sudah stadium akhir. Secara medis sudah tidak bisa untuk disembuhkan. Kami diberikan pilihan, merawat Bapak di rumah atau merawat Bapak di rumah sakit. Semuanya menurut medis hanya menunggu waktu kata dokter. Para dokter sudah angkat tangan. Tetapi direktur rumah sakit mempersilahkan keluarga kami kalau mau mencari pengobatan alternatif . Hanya beliau berpesan harus yang sesuai syariah, jangan sampai terjerumus ke dalam syirik. Ibu, saya dan kakak-kakakpun sepakat untuk hati-hati. Dan diputuskan untuk mencari pengobatan herbal saja.

Selama beberapa hari, kami bergiliran menunggui Bapak di rumah sakit. Karena siang hari kakak-kakak saya bekerja, saya sering kebagian menunggui bapak dari pagi sampai siang atau sampai sore. Kadang-kadang saya bawa anak-anak ke rumah sakit dengan naik mobil angkutan umum. Karena para penumpang di mobil memberi senyum pada waktu kami naik, menegur mau pergi kemana, jika ada yang turun lebih dulu mengajak mampir, anakku Lia dan Nida bertanya, "Mama kenal sama mereka?Mereka saudara kita?". Dengan tersenyum saya menjawab,"Mama tidak kenal dengan mereka Nak. Mereka juga bukan saudara kita. Disini memang masih banyak orang yang memegang adat, saling tersenyum dan menyapa kalau bertemu."Anakku begitu terkesan dengan hal itu. Sesampai di rumah sakit biasanya anak-anakku langsung menghampiri Mbah Kakungnya, mengajak bicara, mengingatkan untuk shalat, kadang-kadang sambil mengelus-elus tangan dan kaki Mbah Kakungnya. Bapak kelihatannya senang dengan kedatangan anak-anakku. Anak-anakkupun kelihatannya senang sekali diajak menunggui Mbah kakungnya. Apa lagi walaupun dalam keadaan sakit, beliau masih sempat membelikan sandal kecil yang lucu untuk cucunya, atau menyuruh membeli jajanan atau mainan yang disenangi anak-anak.

Banyak tetangga, saudara dan kenalan yang datang menengok Bapak di rumah sakit. Bapak kadang cerita kepada mereka, bahkan kadang masih sempat bercanda. Di hadapan anak dan cucunya Bapak masih memperlihatkan semangat untuk sembuh. Mau minum atau makan apa saja yang disarankan untuk pengobatan. Yang membuat kami tersenyum dan terharu adalah waktu kami beberapa anaknya bertanya, "Bapak ingin apa?". Bapak menjawab, "Ingin makan buntil isi tongkol (ini salah satu makanan khas Muntilan)". Kami tersenyum. "Wah, kalau makan itu sekarang tidak boleh, Pak. Kalau sudah sehat, baru boleh makan itu". Sambil tersenyum bapak menjawab, "Oh, itu hanya bercanda, semua keinginanku sudah terkabulkan". Pada waktu salah seorang keponakan Bapak datang, Bapak berkata,"Ya, sudahlah. Saya terima apa yang Allah kehendaki". Keponakan Bapak menanggapi, "Lo. Apa Pak Mantri tidak ingin menunggui cucu-cucunya (sampai besar)". Jawab Bapak,"Mereka sudah ditunggui orang tuanya. Orang tuanya sudah bisa mendidik mereka". Saya agak terkejut mendengar pembicaraan ini, tapi saya diam saja.

Hari itu, hari Kamis, saya sedang mendapat giliran menunggui Bapak waktu seorang perawat masuk untuk memeriksa tekanan darah. Sambil memperlihatkan pergelangan tangannya Bapak bertanya kepada perawat itu,"Mbak, coba dilihat sudah cekung ke dalam atau belum, kalau sudah berarti minta dikubur, kalau tidak sekarang ya besok". Perawat itu hanya tersenyum kebingungan, tidak bicara sepatah katapun. Saya menanggapi, " Ah , Mbah Kakung senang bercanda nih". Dan perawatpun pamit keluar. Sayapun pamit pulang setelah ada beberapa kakak yang datang, saya berjanji sama Bapak besok pagi mau menungguinya lagi.

Esok harinya, tepat sepuluh hari Bapak dirawat.Karena kasihan melihat anak-anak saya yang masih kecil-kecil, Ibu menyarankan pada saya untuk tidak ke rumah sakit dulu. Saya disuruh mengurus anak-anak saya dulu. Saya terima saran Ibu, karena saya juga merasa agak kurang sehat. Selesai shalat ashar, Wendi, keponakan saya datang menjemput Ibu, saya dan anak-anak untuk diajak ke rumah sakit. "Mbah Kakung kritis, sekarang dioksigen". Hati saya deg-degan. Saya langsung telpun kakak yang masih di Jakarta, suami saya, dan keponakan-keponakan Bapak di Yogyakarta. Kemudian kami segera berangkat ke rumah sakit.

Adik-adik ibu, kakak-kakak, keponakan-keponakan, saudara-saudara sepupu saya dan beberapa tetangga ternyata sudah pada datang. Bergantian kami mendekati Bapak, mendampinginya untuk mohon ampun kepada Allah. Sambil menahan sakit, Bapak berkata, “Kemarin yang sakit hanya perut, tetapi sekarang seluruh tubuh saya sakit. Sekarang terserah Allah saja. Apa yang dikehendaki-Nya". Saya tidak tahan melihat Bapak , saya menangis. Kakak mengingatkan, saya tidak boleh menangis. Saya elus-elus kepala Bapak, sepertinya Bapak senang.

Waktu maghrib tiba. Bapak saya ingatkan. Bapak shalat maghrib dengan berbaring, setelah tayamum. Setelah shalat Bapak dzikir. Kamipun bergiliran melaksanakan shalat maghrib. Selesai shalat, melihat kondisi ibu yang kurang sehat dan kondisi Bapak yang berangsur membaik, saya menyarankan ibu untuk pulang, beristirahat. Ibu setuju. Ibu pamit ke Bapak. Bapakpun mengijinkan sambil minta maaf kepada ibu atas semua kesalahannya. Bapak dan Ibu saling memaafkan. Kami semua terharu. Kakak ipar mendekati Bapak, atas nama kami, anak-anak, menantu-menantu dan cucu-cucu kakak ipar meminta maaf kepada Bapak atas kesalahan-kesalahan kami. Bapakpun memaafkan dan juga minta maaf kepada kami semua.

Ibu pulang. Bapak merasa seluruh badannya tambah sakit. Saya, kakak, bulik, mendekatinya. Saya sisir rambutnya sambil mengingatkannya untuk mohon ampun kepada Allah. Saya lihat dahi Bapak berkeringat. Saya merasa Bapak menahan sakit yang amat sangat. Saya tidak tahan. Bulik menggantikan saya mendampingi Bapak sambil membimbing Bapak tetap ingat pada Allah. Saya, beberapa kakak dan beberapa tetangga membaca Al qur'an, membaca surah Yasiin. Kami berharap pertolongan Allah. Allah memberikan yang terbaik kepada Bapak. Selesai membaca surah Yasiin, saya melihat Bapak sudah dapat tidur dengan tenang, bahkan mengorok. Saya keluar kamar. Saya bilang sama kakak yang sedang berdoa di luar, "Bapak sudah tidur lagi, tapi ngorok". Kakak menjawab," Kalau begitu coba panggil perawat supaya memeriksa Bapak". Baru saja saya mau berdiri hand phone sepupu saya bunyi. Saya mengambilnya dan masuk ke kamar Bapak untuk memberikan hand phone ke sepupu saya. Sepupu saya bersama beberapa saudara yang lain sedang mengelilingi Bapak saya. Saya tepuk punggungnya, saya beri tahu hand phonenya bunyi. Tetapi dia tidak peduli. Dan saya lihat, kakak melarang perawat yang akan memeriksa tekanan darah Bapak . Saya baru sadar. Innalillaahi wa inna ilaihi roji'uun. Bapak telah dipanggil pulang Allah, Sang Pencipta.

Saya telah mengantar Bapak ke rumah sakit, sayapun akan membawa jenazah Bapak pulang. Dengan ambulan, jenazah Bapak di bawa pulang. Saya duduk disamping jenazah bapak. Sampai di rumah jenazah Bapak langsung dimandikan dan dikafani. Ibu, anak-anak, cucu-cucu, saudara, tetangga, langsung menshalatkan. Karena waktu sudah larut malam, maka diputuskan bahwa Bapak dimakamkan besok pagi saja, sambil menunggu kakak yang belum bisa datang. Pagi harinya mulai selesai shalat subuh sampai mau dimakamkan, masih banyak yang datang untuk menshalatkan. Setelah kakak dari Jakarta datang, Bapak dibawa ke makam untuk dimakamkan di pemakaman keluarga di lereng Gunung Gono. Tepat pada saat liang lahat Bapak mau ditutup dengan tanah, suami saya datang bersama sahabatnya. "Kena macet"katanya. Anak-anak gembira sekali melihat ayahnya datang, Safa langsuk minta gendong.

Doa Bapak terkabulkan. Bapak pernah bilang bahwa dia berharap masa tuanya tidak membuat repot anak cucunya. Ternyata sampai meninggalpun , Bapak tidak membuat repot anak cucunya. Waktu mau membawa pulang jenazah, saya mau membayar biaya rumah sakit. Petugas rumah sakit menolak. "Nanti saja Ibu kalau sudah tujuh hari,"katanya. Di bawah lipatan baju-baju Bapak yang selalu rapi, di dalam almari Bapak, Bapak sudah menyiapkan sejumlah uang yang setelah dihitung cukup untuk biaya rumah sakit, pengurusan jenazah dan pemakaman. Untuk kain kafan, Bapak dan Ibu sudah lama menyiapkan.

Itulah acara liburan saya dan anak-anak selama dua minggu di kampung halaman. Dua minggu lamanya, seperti kata suami sebelum saya dan anak-anak berangkat ke kampung halaman. Dua minggu waktu yang cukup untuk mengantar Bapak ke rumah sakit, menungguinya sampai dipanggil Allah Sang Maha Pencipta, membawa pulang jenazah Bapak, menshalatkan. Menunggui jenazahnya sampai dimakamkan . Menemani Ibu serta berkumpul bersama keluarga dan tetangga sampai hari ketiga dari meninggalnya Bapak. Terima kasih suamiku, engkau telah memberikan kesempatan kepadaku untuk mendampingi Bapak pada saat hari-hari terakhirnya di dunia ini.

2 komentar:

  1. Cerita Ibu sangat mengesankan saya. Kejadian semacam ini juga telah saya alami sembilan tahun yang lalu. Tetapi sampai saat ini semua masih jelas diingatan saya... Terima kasih bahwa dengan membaca cerita Ibu, saya pun sadar, bahwa ketakutan saya sebenarnya tidak berdasar, bahwa saya pernah berpikir, suatu saat saya akan melupakan Papa. Semoga Ibu dan semua Keluarga tabah selalu. Salam SLIP

    BalasHapus
  2. turut berduka cita, yang tabah yah

    BalasHapus

Math of The Day


Widgets and Templates

Bermain Sudoku.... Siapa Takut..?

Belanja...? Klik saja...