"Ibu baik kok", begitu kata Mbak Ti, kakakku nomor tiga, sambil memeluk dan menciumku begitu kami tiba di rumah ibu, untuk menghadiri pemakamannya. Sebuah kalimat pendek dan sederhana tetapi begitu menenangkan hati kami yang tidak dapat ikut merawat ibu pada waktu sakit karena terpisahkan oleh jarak yang jauh. Berganti-ganti kakak-kakakku mencium dan memeluk kami, yang tidak dapat menunggui ibu waktu meninggal. Pada waktu giliran Mas Edhi, istri dan putrinya yang memeluk dan mencium kami, saya tidak dapat menahan keharuan. Sambil sama-sama meneteskan air mata haru, saya bilang ke Mas Edhy, istri dan putrinya, bahwa mereka tidak boleh menangis atas meninggalnya ibu karena merekalah yang paling puas merawat dan menunggui ibu selama sakit dengan penuh kesabaran.
Setelah selesai mandi dan ganti baju, kami menshalatkan jenazah ibu, dengan suamiku sebagai imam (Tak berapa lama setelah meninggal, jenazah ibu langsung dimandikan dan dikafani oleh kakak-kakak yang di Magelang dibantu jamaah masjid tempat aku dulu diajak ibu belajar mengaji). Menurut kesepakatan kakak-kakak di Magelang, jenazah ibu akan dimakamkan setelah shalat Jum'at. Supaya tidak ribut, ya kami ikut saja. Sehingga sambil menunggu acara pemakaman, kami ikut menemui para tamu yang melayat. Sementara tetangga-tetangga dan kerabat dekat ibu pada berdatangan membawa berbagai macam bahan makanan dan memasakkannya buat kami sekeluarga. Hari itu, serasa kami dimanjakan oleh tetangga dan kerabat dekat ibu. Begitulah suasana kehidupan di desa yang masih penuh dengan gotong royong dan kekeluargaan. Terimakasih sekali kami sampaikan.
Shalat Jum'at sudah selesai, jenazah ibu diberangkatkan ke pemakaman keluarga yang jaraknya sekitar 600 meter dari rumah ibu. Jenazah dibawa ke pemakaman dengan keranda yang di gotong oleh empat orang. Kebahagiaan menghampiri hatiku, karena salah satu penggotong keranda adalah suamiku. Anak-anakku ingin sekali ikut mengantar jenazah Mbah putrinya ke pemakaman. Tapi aku tidak memperbolehkannya, aku jelaskan kepada mereka bahwa wanita tidak boleh ikut mengantar jenazah ke pemakaman supaya tidak tercampurbaur laki-laki dan perempuan yang kemungkinan akan dapat menimbulkan fitnah. Anak-anakku tetap ingin sekali ke pemakaman. Akhirnya setelah agak lama berselang, saya antarkan anak-anak ke pemakaman, dengan jalan kaki melewati pemantang sawah bekas jalan saya dulu ke sekolah dasar. Mereka gembira sekali, berjalan menyusuri pemantang sawah di pinggir sungai kecil yang masih jernih airnya sambil mendengarkan cerita mamanya tentang sekolahnya dulu.Kamipun berencana bahwa nanti waktu maghrib akan ke masjid tempat Mbah putrinya dulu mengaji dan membawa mamanya, untuk shalat berjamaah sekalian bersilaturahmi dengan kerabat Mbah putrinya. Anak-anakpun minta nanti pulang dari pemakaman lewat pemantang sawah lagi. Ternyata sampai di pemakaman suasananya sudah sepi, tinggal suamiku, beberapa kakakku, iparku, keponakanku dan beberapa saudara dan kerabat dekat yang sedang merapikan dan membereskan makam ibu. Tak lama di pemakaman, kamipun pulang karena kebetulan langsung turun hujan. Dan kamipun tidak jadi pulang berjalan kaki lewat pemantang sawah, kami terpaksa ikut mobil kakak yang menjemput.
Malam pertama di rumah ibu, setelah ibu dan bapak meninggal,"beda", kata saya yang diiyani oleh anak-anak. Tak ada lagi yang membuka pintu kamar kami untuk melihat apakah tidurnya sudah pada berselimut semua, atau sekadar membetulkan letak selimut kami. Paginyapun sudah tidak ada lagi yang mengingatkan kami untuk mandi dengan air hangat, karena di desa ibu hawanya dingin (maklum dilereng gunung ). Tapi yang sangat saya rasakan akan meninggalnya ibu adalah menimbulkan semangat tersendiri dalam diri saya untuk selalu memperbaiki diri, memperbaiki keimanan, memperbaiki ibadah, memperbaiki cinta ke suami, memperbaiki cinta ke anak-anak, memperbaiki semuanya. Ajaran agama yang menyatakan bahwa amal baik dari anak-anak akan mengurangi dosa ibu dan bapak yang sudah berpulangpun sering sekali terngiang-ngiang. Ya Allah, ampunilah dosa ibu bapak kami dan sayangilah mereka berdua, ya Allah.
Setelah selesai mandi dan ganti baju, kami menshalatkan jenazah ibu, dengan suamiku sebagai imam (Tak berapa lama setelah meninggal, jenazah ibu langsung dimandikan dan dikafani oleh kakak-kakak yang di Magelang dibantu jamaah masjid tempat aku dulu diajak ibu belajar mengaji). Menurut kesepakatan kakak-kakak di Magelang, jenazah ibu akan dimakamkan setelah shalat Jum'at. Supaya tidak ribut, ya kami ikut saja. Sehingga sambil menunggu acara pemakaman, kami ikut menemui para tamu yang melayat. Sementara tetangga-tetangga dan kerabat dekat ibu pada berdatangan membawa berbagai macam bahan makanan dan memasakkannya buat kami sekeluarga. Hari itu, serasa kami dimanjakan oleh tetangga dan kerabat dekat ibu. Begitulah suasana kehidupan di desa yang masih penuh dengan gotong royong dan kekeluargaan. Terimakasih sekali kami sampaikan.
Shalat Jum'at sudah selesai, jenazah ibu diberangkatkan ke pemakaman keluarga yang jaraknya sekitar 600 meter dari rumah ibu. Jenazah dibawa ke pemakaman dengan keranda yang di gotong oleh empat orang. Kebahagiaan menghampiri hatiku, karena salah satu penggotong keranda adalah suamiku. Anak-anakku ingin sekali ikut mengantar jenazah Mbah putrinya ke pemakaman. Tapi aku tidak memperbolehkannya, aku jelaskan kepada mereka bahwa wanita tidak boleh ikut mengantar jenazah ke pemakaman supaya tidak tercampurbaur laki-laki dan perempuan yang kemungkinan akan dapat menimbulkan fitnah. Anak-anakku tetap ingin sekali ke pemakaman. Akhirnya setelah agak lama berselang, saya antarkan anak-anak ke pemakaman, dengan jalan kaki melewati pemantang sawah bekas jalan saya dulu ke sekolah dasar. Mereka gembira sekali, berjalan menyusuri pemantang sawah di pinggir sungai kecil yang masih jernih airnya sambil mendengarkan cerita mamanya tentang sekolahnya dulu.Kamipun berencana bahwa nanti waktu maghrib akan ke masjid tempat Mbah putrinya dulu mengaji dan membawa mamanya, untuk shalat berjamaah sekalian bersilaturahmi dengan kerabat Mbah putrinya. Anak-anakpun minta nanti pulang dari pemakaman lewat pemantang sawah lagi. Ternyata sampai di pemakaman suasananya sudah sepi, tinggal suamiku, beberapa kakakku, iparku, keponakanku dan beberapa saudara dan kerabat dekat yang sedang merapikan dan membereskan makam ibu. Tak lama di pemakaman, kamipun pulang karena kebetulan langsung turun hujan. Dan kamipun tidak jadi pulang berjalan kaki lewat pemantang sawah, kami terpaksa ikut mobil kakak yang menjemput.
Malam pertama di rumah ibu, setelah ibu dan bapak meninggal,"beda", kata saya yang diiyani oleh anak-anak. Tak ada lagi yang membuka pintu kamar kami untuk melihat apakah tidurnya sudah pada berselimut semua, atau sekadar membetulkan letak selimut kami. Paginyapun sudah tidak ada lagi yang mengingatkan kami untuk mandi dengan air hangat, karena di desa ibu hawanya dingin (maklum dilereng gunung ). Tapi yang sangat saya rasakan akan meninggalnya ibu adalah menimbulkan semangat tersendiri dalam diri saya untuk selalu memperbaiki diri, memperbaiki keimanan, memperbaiki ibadah, memperbaiki cinta ke suami, memperbaiki cinta ke anak-anak, memperbaiki semuanya. Ajaran agama yang menyatakan bahwa amal baik dari anak-anak akan mengurangi dosa ibu dan bapak yang sudah berpulangpun sering sekali terngiang-ngiang. Ya Allah, ampunilah dosa ibu bapak kami dan sayangilah mereka berdua, ya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar