Hari ini, betul-betul saya merasa capai. Dimulai dari ruang ujian pertama sekolah dimana saya bertugas mengawasi ujian tengah semester. Ada beberapa siswa yang dengan enaknya menyontek jawaban temannya, tapi masih mau mendengarkan teguran saya untuk tidak menyontek, walaupun setelah itu nyontek lagi. Hal ini membuat saya mulai sedih, ditambah memikirkan seorang siswa yang tidak masuk-masuk sekolah walaupun sudah dibujuk-bujuk sama orang tuanya dan sudah saya temui di rumahnya. Waktu ujian pertama sudah selesai, beberapa lembar jawaban siswa dengan terpaksa dan penuh dengan emosi saya beri catatan, "Nyontek".
Setelah istirahat sejenak, ujian kedua dimulai. Jam kedua ini saya bertugas mengawas di ruang kedua, kebetulan ruang kedua berisi siswa dari kelas dengan tingkatan yang sama dan dari jurusan yang sama, otomatis soalnya semua sama. Timbul kekawatiran dalam diri saya bahwa akan terjadi contek menyontek yang lebih parah lagi sehingga saya mengingatkan siswa-siswa untuk bekerja sendiri-sendiri dan jujur. Menit-menit pertama berlangsung tertib dan tenang, kekawatiran saya agak berkurang. Lima belas menit berlalu, dua puluh menit berlalu, tiga puluh menit berlalu, waktu mengerjakan soal hampir satu jam tatkala saya melihat hal yang tidak mengenakkan hati seorang pendidik, dengan tenangnya beberapa orang siswa menyontek jawaban temannya. Saya mengingatkannya, ada yang mau mendengarkan dan ada yang tidak mau mendengarkan sama sekali. Saya tegur lagi, saya tegur lagi sampai berkali-kali, ternyata ada dua orang siswa yang tidak menghiraukan teguran saya sama sekali dan dengan enaknya menyontek pekerjaan temannya di depan mata saya. Saya tegur dengan keras tetap tidak menghiraukan, ingin rasanya saya mengambil lembar jawabannya dan menyilangnya atau merobeknya, tapi saya masih berpikir bahwa itu terlalu kasar. Saya masih berharap dua orang siswa itu akan sadar dengan teguran - teguran dan peringatan saya, tetapi ternyata tidak, bahkan menurut perasaan saya keduanya meledek dan meremehkan saya. Akhirnya saya mengambil lembar jawaban keduanya dan menuliskan beberapa kata diatasnya sebagai peringatan dan untuk diperhatikan oleh guru bidang studi.
Terus terang saya benar-benar emosi melihat tingkah laku beberapa siswa di ruang dua ini, sedih bercampur marah, merinding dan bergetar hati saya. Pertama memang sedih dan marah karena merasa dilecehkan dan disepelekan siswa karena seorang guru adalah juga seorang manusia, tetapi yang paling membuat sedih dan marah adalah kelakuan siswa yang dengan tanpa merasa malu menyontek pekerjaan temannya, seakan- akan menyontek adalah suatu hal yang biasa. Sepertinya belum menyadari perbuatan dosa, padahal saya yakin sebagian besar atau bahkan semuanya sudah menginjak usia dewasa, bukan anak baru gede lagi. Saya masih ingat pada waktu saya sekolah dulu, begitu tertanamnya di hati sebagian besar siswa bahwa menyontek adalah perbuatan yang hina, sehingga tanpa diawasipun pada waktu ujian jarang ada yang menyontek. Mengapa sekarang demikian. tapi saya masih berharap bahwa hal ini hanya ada di sekolah saya yang ini saja, tidak di sekolah lain.
Ya Allah, Ya Rabbi, selamatkanlah saya dan anak didik saya dari berbuat curang. Selamatkanlah saya dari ketidakjujuran agar saya mudah pula untuk mengajarkan kejujuran ke anak didik saya. Amiin, Ya Rabbal'alamiin.
Setelah istirahat sejenak, ujian kedua dimulai. Jam kedua ini saya bertugas mengawas di ruang kedua, kebetulan ruang kedua berisi siswa dari kelas dengan tingkatan yang sama dan dari jurusan yang sama, otomatis soalnya semua sama. Timbul kekawatiran dalam diri saya bahwa akan terjadi contek menyontek yang lebih parah lagi sehingga saya mengingatkan siswa-siswa untuk bekerja sendiri-sendiri dan jujur. Menit-menit pertama berlangsung tertib dan tenang, kekawatiran saya agak berkurang. Lima belas menit berlalu, dua puluh menit berlalu, tiga puluh menit berlalu, waktu mengerjakan soal hampir satu jam tatkala saya melihat hal yang tidak mengenakkan hati seorang pendidik, dengan tenangnya beberapa orang siswa menyontek jawaban temannya. Saya mengingatkannya, ada yang mau mendengarkan dan ada yang tidak mau mendengarkan sama sekali. Saya tegur lagi, saya tegur lagi sampai berkali-kali, ternyata ada dua orang siswa yang tidak menghiraukan teguran saya sama sekali dan dengan enaknya menyontek pekerjaan temannya di depan mata saya. Saya tegur dengan keras tetap tidak menghiraukan, ingin rasanya saya mengambil lembar jawabannya dan menyilangnya atau merobeknya, tapi saya masih berpikir bahwa itu terlalu kasar. Saya masih berharap dua orang siswa itu akan sadar dengan teguran - teguran dan peringatan saya, tetapi ternyata tidak, bahkan menurut perasaan saya keduanya meledek dan meremehkan saya. Akhirnya saya mengambil lembar jawaban keduanya dan menuliskan beberapa kata diatasnya sebagai peringatan dan untuk diperhatikan oleh guru bidang studi.
Terus terang saya benar-benar emosi melihat tingkah laku beberapa siswa di ruang dua ini, sedih bercampur marah, merinding dan bergetar hati saya. Pertama memang sedih dan marah karena merasa dilecehkan dan disepelekan siswa karena seorang guru adalah juga seorang manusia, tetapi yang paling membuat sedih dan marah adalah kelakuan siswa yang dengan tanpa merasa malu menyontek pekerjaan temannya, seakan- akan menyontek adalah suatu hal yang biasa. Sepertinya belum menyadari perbuatan dosa, padahal saya yakin sebagian besar atau bahkan semuanya sudah menginjak usia dewasa, bukan anak baru gede lagi. Saya masih ingat pada waktu saya sekolah dulu, begitu tertanamnya di hati sebagian besar siswa bahwa menyontek adalah perbuatan yang hina, sehingga tanpa diawasipun pada waktu ujian jarang ada yang menyontek. Mengapa sekarang demikian. tapi saya masih berharap bahwa hal ini hanya ada di sekolah saya yang ini saja, tidak di sekolah lain.
Ya Allah, Ya Rabbi, selamatkanlah saya dan anak didik saya dari berbuat curang. Selamatkanlah saya dari ketidakjujuran agar saya mudah pula untuk mengajarkan kejujuran ke anak didik saya. Amiin, Ya Rabbal'alamiin.